Sinar Banten , BURUNG cataka menghentikan tangisnya karena hujan lembut yang membasahi daun pohon wungu. Konon di India, burung cataka hidup dari tetes-tetes hujan. Pun demikian burung helang. Ia berputar-putar di langit, menangis karena hawa panas dan mendambakan turunnya hujan.
Sungguh mengharukan suara burung cucur serta tadah asih yang menangisi susutnya rembulan. Sampai-sampai dari Sumanasantaka, sebuah kitab dari India, di sana ibu suri menjelang wafatnya berkata kepada putrinya: ”Anakku, kau ibarat telur tadah asih, yang diasuh dan dirawat orang lain.” Mengenai burung walik pun dikatakan bahwa ia jatuh cinta pada rembulan. Ia adalah burung malam yang kini disebut kolik (PJ Zoetmulder, 1974).
Pelukisan burung pada sastra kakawin sebagai obyek puisi Jawa kuno menandai bahwa burung kerap menjadi bagian dari ruang peristiwa manusia. Burung tak sekadar hewan yang terbang, hinggap, lalu hilang. Ia adalah hewan yang acap kali diimajinasikan untuk sekadar dicitrakan dalam simbolisme maupun pertanda kehidupan.
Di negeri ini, citra burung ada bersama pelbagai macam seni sampai ideologi yang hingga kini dipakai untuk wadah bangsa ini hidup berbudaya-berbangsa-bernegara. Konon, Empu Prapanca pernah memuji suara Raja Hayam Wuruk yang mirip suara burung merak ketika membawakan sebuah lagu.
”Suaranya seindah nyanyian burung merak” (PJ Zoetmulder, 1974).
Deskripsi burung tak seindah ceritanya di masa silam. Nasibnya kini mulai tergantikan beriringan dengan nasib pohon-pohon yang bertumbangan akibat dieksploitasi habis-habisan.
Penanda peristiwa
Ingatkah pada moyang kita yang mengatakan bahwa apabila ada burung gagak hitam beterbangan di suatu tempat menandai akan adanya kematian? Entah sudah dibuktikan ke dalam logika ilmiah, burung-burung rupanya peka pada suatu kejadian. Mereka merasakan itu sebagaimana manusia dapat merasai firasat yang tak terjelaskan secara gamblang. Mereka tak sekadar mengingatkan, tetapi lebih jauh segala khayalan kita mengenai dunia ini, mengenai pembangunan peradaban yang telah dicapai selama ini, rupanya bermula dari burung.
Itu dapat dilihat bagaimana kisah dua Wright bersaudara yang memimpikan manusia dapat terbang laksana burung-burung di atas awan. Alhasil, ke mana pun manusia pergi menyeberangi pulau dan lautan tak lagi harus berjalan maupun menumpangi kapal. Kita hanya tinggal duduk manis sambil memandang awan dan menikmati pemandangan di dalam burung besi bernama pesawat terbang.
Burung adalah teladan manusia mengitari dunia ini dengan segala keunikan yang dimiliki. Simbolisme cinta, kepekaan perasan juga tak lepas dari sepasang burung angsa yang berenang beriringan. Bahkan, pesan dan surat cinta dapat disampaikan melalui seekor merpati yang terbang membawa kabar dari sang tuan kepada kekasih pujaan.
Kematian burung
Alan Weismen (2007) dalam buku The World Without Us mencatat lebih dari 1.000 spesies burung yang hidup bersama-sama dengan kita, dari kolibri dengan berat kurang dari uang logam paling murah hingga burung moa tak bersayap yang memiliki berat 270 kilogram. Dan kini sekitar 130 dari 1.000 spesies itu telah punah.
Ruang untuk hidup burung terbatasi secara masif, baik di darat maupun di angkasa. Hidup burung pun tak lagi seindah dan senyaman ”burung besi” yang berlalu lalang terbang. Gerakan, nyanyian, dan bulu-bulunya tak lagi seindah khayalan tekstual para penyair, semerdu lagu-lagu para musisi, apalagi seanggun pakaian karya desainer kondang.
Ada fabel berjudul Tiya yang ditulis Samarpan mengenai burung beo yang sedang mencari makna hidupnya. Sebagai burung perenung, ia dianggap pemalas oleh teman-temannya di habitat pohon beringin. Tiya adalah burung yang cemas dan gelisah melihat keadaan sekitar. Ia lalu berkelana. Hinggap dari satu pohon ke pohon lain. Melihat dan menemui pelbagai ragam kehidupan burung yang hidup secara berbeda dengan yang ia rasakan sebelumnya.
Alkisah ketika hinggap di suatu pohon, Tiya melihat di bawah pohon itu terdapat berderet burung yang ukuran, bentuk, warna, dan bulu-bulunya berbeda-beda. Mereka sedang melakukan beragam aktivitas: mematuk, memecah kacang, menangkap cacing, menimbun makanan, membersihkan tanah, dan sebagainya. Usai lama mengamati, Tiya terkejut karena tak satu pun dari burung itu yang terbang. Mereka semua tampak bahagia melakukan aktivitasnya tanpa memedulikan sayap yang tak lagi difungsikan.
Bagi Tiya, ulah para burung itu kebodohan. Keterkejutan Tiya bertambah saat ia bertanya mengapa para burung itu berjalan seperti mamalia? Ia mendapati jawaban: ”Berjalan itu lebih baik daripada terbang, itulah filosofi kami. Kami merasa hanya mereka yang tak bermartabat yang menunjukkan perut bawah mereka kepada orang awam,” jawab seekor burung.
Kehidupan manusia layaknya fabel Tiya, si burung beo, perenung sekaligus pengelana yang terbukakan matanya oleh pelbagai ragam ”kebudayaan” yang ada. Kebermaknaan kita sebagai bangsa Indonesia adalah karena keragaman yang memang telah ditakdirkan. Kehidupan burung bukanlah keberadaan yang sia-sia.
Ketika bangsa ini dihadapkan pada perpecahan, rendahnya moral, keangkuhan material, hilangnya jiwa sosial, serta pudarnya nilai religius, ingatlah pada si burung Garuda yang dijadikan wadah persatuan dan kesatuan itu. Yang mirip merdunya lagu Iwan Fals ini: ”Garuda bukanlah burung perkutut.... Dan coba kau dengarkan Pancasila itu bukan rumus kode buntut”. Jangan-jangan, kebudayaan dan keadaban kita akhirnya ditentukan oleh burung.
Oleh : Saeful Achyar, Pengelola Majalah Papirus dan Aktivis di Bilik Literasi, Solo
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon