Om Swastiastu.
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Sejahtera untuk kita sekalian,
Namo Buddayo.
Yang terhormat Presiden RI, Bpk Ir. Joko Widodo
Ketua DPR RI dan anggota DPR RI asal Bali
Ketua DPD RI serta anggota perwakilan Bali
Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri
lainnya
Pejabat Tertinggi dan Tinggi Negara
Panglima TNI RI
Ketua Dharna Adyaksa,
Sabha Walak Parisada Hindu Dharma Pusat
Ketua Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma
Pusat,
Para Pimpinan Majelis Agama,
Para Pinisepuh Umat,
Para Undangan dan Umat Sedharma yang berbahagia.
Pada tanggal 28
Maret 2017 yang lalu, umat Hindu di seluruh pelosok nusantara baru saja
melaksanakan hari raya Nyepi, sebagai penanda awal tahun baru saka 1939.
Sebelumnya, dilaksanakan upacara melasti, yaitu upacara penyucian pratima ke
sumber-sumber mata air atau laut.
Sehari sebelum
Nyepi, umat Hindu secara nasional mengadakan upacara Tawur [ruwatan bumi] yang
dipusatkan di depan candi Prambanan, Jateng diikuti dengan hal yang sama di
masing-masing Provinsi lain. Setelah hari raya Nyepi, umat Hindu
menyelenggarakan acara Dharmasanti sebagaimana dilaksanakan malam ini, sebuah
acara formal untuk saling maafmemaafkan serta memberikan dukungan satu sama
lain.
Bapak Presiden yang
saya muliakan dan hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan
dharma wacana ini, ijinkan saya menyampaikan petikan dialog yang inspiratif,
antara Judistira dengan Yaksa [tentu bukan Jaksa atau Jaksa Agung]. Dialog
terjadi, ketika Judistira melihat empat saudaranya tewas di tepi danau dalam
hutan ganas Nandaka. Tempat panca pandawa menjalani hukuman akibat kalah
berjudi.
Ketika Judistira
melihat empat saudaranya tewas, ia bergumam dengan lirih: ”Ya Tuhan, kenapa
empat saudaraku mengalami nasib seperti ini, tewas di tepi danau. Adakah hal
salah telah dilakukannya ? Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari langit,
yang tidak lain berasal dari Yaksa. “Wahai anakku Judistira, apa yang menimpa
adik-adikmu, akibat perbuatannya sendiri.
Mereka dengan
lancangnya mengambil air milikku tanpa terlebih dahulu meminta ijinkku.
Siapapun tidak berhak melakukan tindakan seperti itu. Terlebih lagi sebagai
Ksatrya, seharusnya lebih paham mengenai peraturan, tentu lebih tidak patut
melakukan tindakan itu, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menikmati sesuatu
bukan karena hasil kerjanya.
Oleh karena itu,
engkau jangan terlalu bersedih, itu adalah pahala dari karma nya sendiri, hukum
karma-phala sedang berjalan. Duh paduka Yaksa, maafkanlah kesalahan dan
dosa-dosa saudara hamba. Kesalahan yang dilakukannya, bukan semata-mata
kesalahan mereka, melainkan hambalah yang memintanya untuk mencari air yang
akan kami berikan kepada istri hamba, Drupadi.
Hamba saudara
berlima tidak mungkin dipisahkan. Walau hamba berbeda dalam ciri fisik, watak,
dan ibu yang melahirkan, kami tetap bersaudara dalam perbedaan [bina ika
tunggal ika]. Bima, tinggi besar, kulitnya rada hitam, tempramental, sementara
Arjuna tampan, kulitnya halus, semampai, dan lembut. Sedangkan adik hamba
Nakula dan Sahadewa si kembar, bawaannya lemah-lembut, seniman, pintar, dan
santun. Perbedaan itu adalah keindahan yang harus hamba pelihara Paduka.
Oleh sebab itu
paduka Yaksa, sekali lagi kami mohon agar adik-adik hamba dapat dihidupan
kembali, agar kami berlima dapat mendarma baktikan hidup kami untuk negeri yang
kami amat cintai. Setelah mendengar motivasi permohonan memelas dari Judistira,
maka Yaksa berkata: ”baiklah Judistira, Aku akan hidupkan saudara-saudaramu,
dengan syarat kamu bisa menjawab tiga plus satu pertanyaanku’. Judistira pun
sepakat “monggo paduka”, Judistira siaaap mengikuti UNBK.
Prof. Dr. Ida Bagus
Gde Yudha Triguna, M.S.
|
Pertanyaan pertama
Yaksa: “apakah yang lebih tinggi dari langit ? Mendengar pertanyaan itu,
Judistira melongok ke atas melihat langit biru, dan mejawab: maaf paduka, yang
lebih tinggi dari langit, tiada lain adalah akasa, ayah, purusa, lingga. Yaksa
berkata: benar Judistira. Ayah, harus dihormati, ayah-akasa-purusa-lingga
posisinya menjadi pandu bagi anggota lainnya.
Kamu ada, juga
karena benih purusa, lingga, dan ayah. Akan tetapi, perlu engkau ketahui,
predikat ayah yang mulia itu, baru akan kamu pantas sandang, jika engkau
bertanggung jawab, tidak abai terhadap keluargamu. Yaksa kemudian mengajukan
pertanyaan kedua: “apakah yang lebih berat dari bumi” ? Sambil berfikir,
Judistira melihat ke bawah ke tanah yang dipijaknya, sembari menjawab: menurut
hemat hamba, yang lebih berat dari bumi tiada lain ibu, pertiwi, predana, yoni.
Bagus Judistira ! Ibu, pertiwi, predana, dan yoni adalah lambang kesuburan.
Bibit yang baik, tidak akan mungkin tumbuh menjadi kehidupan tanpa ditampung
oleh wadah yang subur.
Satu hal yang juga
perlu engkau ketahui Judistira, pertiwi selalu akan memberikan apa yang engkau
tanam. Jikalau engkau menanam jagung, maka engkau akan memetik jagung, tidak
mungkin ketela. Jika engkau berbuat baik, maka engkau akan memperoleh kebaikan,
sebaliknya jika engkau menanam keburukan maka cepat atau lambat engkau akan
memetiknya.
Oleh karena itu
wahai Judistira, rawatlah ibu pertiwi ini dengan sebaik-baiknya, Engkau bisa
menghentikan penjarahan dan eksploitasi alam yang sewenang-wenang. Alam
mengandung percikan jiwa Tuhan, berupa energi [bayu] dan suara [sabda], alam
juga bisa merintih sedih seperti halnya manusia. Orang Jawa, Madura, Bali, Batak,
Minang, Dayak, Ambon, Papua, dan lainnya harus bersama-sama menjaga dan merawat
ibu-pertiwi, vayam raster jagrayama purohitah [setiap orang berkewajiban
melindungi bangsa dan negaranya, Yayurveda IX.23] agar dia tetap
cantik-lestari, tidak bopengbopeng, di manapun engkau berada dan mencari
kehidupan.
Yaksa melanjutkan
petuahnya: “Ketahuilah Judistira, tiada energi apapun akan tercipta jika kedua
unsur tadi [akasa dan pertiwi] tidak bersatu. Angin, hujan, petir, dan kamu
sendiri ada karena penyatuan akasa dan pertiwi, karena bersatunya ayah dan ibu,
lingga dengan yoni.
Dapat dibayangkan
jika ekskutif dan legislatif tidak harmoni dan tidak bersatu, maka tidak akan
ada dinamika pembangunan yang full power. Oleh karena itu Judistira, jangan
pernah meremehkan satu di antara kedua unsur tadi. Keduanya harus diberi posisi
yang equal dan dihormati.
Betul Judistira,
keinginan bergerak lebih cepat dari bilangan angka. Ketika kita menyatakan
satu, keinginan langsung menjadi dua, tiga, dan seterusnya. Sudah punya mobil
satu, ingin punya dua, tiga. Sudah punya rumah satu ingin punya rumah dua,
tiga, dan seterusnya. Ayahmu dulu, sudah punya Dewi Kunti, masih juga pingin
punya Dewi Madri, untung jaman itu belum terkenal Dewi........[stop press].
Keinginan yang menggelora dan liar harus dikendalikan Judistira.
Saat Nyepi, ketika
melaksanakan catur berata dengan tidak bersenang-senang [amati lelanguan],
tidak bepergian [amati lelungaan], tidak menyalakan api [amati gni], dan tidak
bekerja [amati karya], itu merupakan usaha manusia mengendalikan diri dari
pengaruh keinginan [ahangkara] dalam wujud rãga [nafsu], lobha [tamak], kroda
[marah], mada [mabuk], irsya [iri hati], dan moho [bingung]. Itulah sebabnya,
saat Nyepi umat Hindu harus melakukan kontemplasi terhadap dirinya, untuk
senantiasa berusaha mengekang pengaruh keinginan [ahangkara] liar ke tingkat
minimal.
Dengan kekuatan
budhi dan wiweka-nya, manusia menimbang betapa mengumbar nafsu, menjadi manusia
tamak, iri hati, dengki, pemarah dan melakukan tindakan kekerasan [krurakarma]
kepada semua makhluk, terlebih dilakukan kepada manusia, tidak akan pernah
menginspirasi manusia mencapai kemuliaan hidup.
Bapak Presiden dan
hadirin yang saya muliakan,
Setelah Judistira
menjawab ketiga pertanyaan sesei pertama, Yaksa kemudian bersabda: Wahai
Judistira putra Kunti, engkau telah mampu menjawab ketiga pertanyaanku dengan
baik.
Oleh karena itu,
aku akan memberimu satu poucer untuk menghidupkan satu dari empat saudaramu
yang tewas. Silahkah pilih mana di antara keempat saudaramu yang akan engkau
hidupkan kembali. Dengan sedih Judistira memohon, ‘paduka Yaksa, jika
memungkinkan, hamba mohon keempat saudara hamba dihidupkan kembali, bukan hanya
satu.
Bagaimana mungkin
hamba dan salah satu di antara mereka saja yang hidup, sementara tiga lainnya
tewas. Yaksa dengan berwibawa dan bergeming menjawab, “tidak bisa Judistira”,
silahkan pilih satu di antara saudaramu untuk dihidupkan kembali. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya Judistira menjawab dengan perlahan.
Baik paduka Yaksa,
jika demikian halnya, maka saya mohon yang dihidupkan salah satu di antara
Nakula atau Sahadewa. Begitu mendengar jawaban Judistira, giliran Yaksa yang
terkejut. Apa ? Nakula atau Sahadewa ? Bukankah engkau memerlukan Bima, yang
badannya tinggi-besar-perkasa-ahli menggunakan senjata gada. Apa tidak lebih
baik engkau menghidupkan Arjuna, si tampan, ahli strategi, ahli perang dan juga
ahli dalam menggunakan busur panah ? Bagaimana logikamu Judistira ?
Paduka yang mulia,
hamba ini putra Dewi Kunti sudah hidup seorang, seharusnya putra Dewi Madri
juga hidup satu orang. Jika hamba menggunkan poucer ini untuk menghidupkan
saudara kandung hamba Bima atau Arjuna, maka hamba telah berlaku tidak adil,
hanya memikirkan diri sendiri, memikirkan kerabat seibu sendiri, tanpa pernah
memikirkan saudara lain.
Jika ibu Madri
mendengar dan tahu, betapa sedihnya melihat kenyataan ini. Betapa remuk hati
seorang ibu Madri, jika keturunannya musnah, sementara keturunan yang berasal
dari ibu lainnya hidup. Oleh karena itu Paduka Yaksa, Keadilan tidak ditentukan
oleh seberapa banyak produk perundang-undangan serta peraturan yang dibuat dan
telah ada, tetapi keadilan itu akan tegak jika pemimpinnya mau bertindak adil
dan memiliki good will untuk
mewujudkan keadilan.
Mohon ampun paduka
yang mulia, sampurasun...hamba tidak mencoba menggurui paduka, hamba hanya
menjelaskan pikiran hamba yang sederhana ini, kata Judistira. Keadilan tidak
ditentukan oleh jumlah, ciri fisik, watak, Bahasa, ataupun daerah. Yang lebih
banyak jumlahnya, memang seharusnya dapat lebih banyak, tetapi juga tidak boleh
mengabaikan yang kecil. Hitam-kriting-besar ciri fisiknya tidak boleh diabaikan
karena yang putih-bersih-dan semampai. Yang bersih kelihatan bersih, karena ada
yang hitam. Yang besar kelihatan besar, karena ada yang kecil.
Barat-Tengah-Timur, utara-selatan semuanya itu harus dilihat sebagai
bagian-bagian yang membuat negeri ini indah [Bhineka Tunggal Ika].
Itulah yang ada
dalam pikiran hamba yang bodoh ini, maafkan hamba jika paduka tidak berkenan.
Bapak Presiden dan Hadirin yang saya muliakan, Begitu mendengar jawaban
Judistira, Yaksa tersenyum puas dan bersabda: Engkau lulus dengan predikat
Summa Cumlaude, predikat kelulusan tertinggi, dan berhak atas penghargaan serta
poucer tambahan. Lagi pula engkau pantas menjadi Raja yang berkeadilan.
Oleh karena itu,
aku akan hidupkan keempat saudaraku yang tewas, agar kamu bisa mendarma
baktikan hidupmu untuk negeri tercinta ini, sekali lagi Aku tegaskan “untuk
mendharma bhaktikan sisa hidupmu untuk negeri ini, sekalipun engkau sudah tidak
menjadi Raja lagi”.
Sebagai tambahan,
Aku akan memberimu empat pesan penting, yaitu pertama: agar engkau dan
saudaramu tetap dekat dengan rakyatmu, hiduplah selalu di hati rakyat,
perilakumu jangan pernah berubah karena kedudukan.
Jika engkau hidup
rakus, tamak, dan egois dengan mengumbar kemarahan, memaki-maki orang lain, itu
sama artinya engkau memarahi dan menyakiti dirinya sendiri anakku Judistira,
itu bertentangan dengan ajaran tat twam asi.
Pada waktu, hari,
dan bulan yang baik lakukan Japa, meditasi, semadi, dan puasa, sebagai momentum
memuliakan diri dan orang lain sesama anak bangsa dengan cara lebih peka
terhadap kemiskinan yang masih menimpa sebagian anak negeri ini.
Pesan tambahanku
yang kedua, sebagai manusia yang hendak mencapai kemuliaan hidup, engkau harus
semakin menyadari betapa pendidikan menjadi modal untuk mencapai kemuliaan
hidup sebagaimana tersirat dalam sloka vidya dhanam sarvadhana pradhanam
[pengetahuan adalah kekayaan tertinggi]. Ketiga, Manusia Hindu juga diharapkan
dapat memberikan inspirasi bagi hidup damai [shanti] dalam suasana kehidupan
yang multikultural.
Bapak Presiden yang
amat saya hormati dan banggakan,
Pesan tambahan
terakhir yang ingin Aku sampaikan kepadamu Judistira, setelah melaksanakan
hening satu hari dan setelah jiwa dan raga beristirahat, maka jiwa memiliki
energi baru untuk memulai hidup baru yang lebih berharga bagi keluarga, nusa,
dan bangsa. Salah satu cara memuliakan hidupmu adalah dengan bekerja lebih
keras dengan menganggap kerja itu sendiri bagian dari yadnya, bagian dari jalan
menuju Tuhan. “Tuhan (Prajapati) melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia,
yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaan-Nya itu yang
disebut Rta (Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1).
Dalam Atharva Veda
(III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu mengajarkan umatnya bekerja keras dengan
penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15). Oleh karena itu, engkau
harus bekerja dengan penuh konsentrasi dan disiplin sebagaimana halnya Tuhan
telah memberikan Kamadhuk melalui yadnya-Nya.
Dengan landasan
bahwa kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap manusia untuk
tidak melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab, kerja-kerja-dan
kerja. Dalam Yajur Weda.19.30 disebutkan sebagai berikut.
Pratena
diksam apnoti Diksaya apnoti daksinam Daksina sraddham apnoti Sraddhaya satyam
apyate [Yajur Weda.19.30]
Artinya: Melalui
pengabdian kita memperoleh kesucian, Dengan kesucian kita mendapat kemuliaan
Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan Dan dengan kehormatan kita memperoleh
kebenaran
Menempatkan kerja
sebagai yadnya [tanpa pamrih] juga memungkinkan memperoleh kesucian, hasil yang
suci tak ternoda, energi yang mengalir dalam uang yang diperoleh dengan jalan
suci akan memberikan vibrasi positif bagi seluruh anggota keluarga yang
menikmatinya.
Seluruh keluarga
akan tenang hidupnya, dan dalam kondisi demikian, keluarga itu akan memperoleh
kemuliaan dan kehormatan sebagai keluarga sukhinah bawantu [memperoleh
kemuliaan, kehormatan, dan dipercaya].
Oleh karena itu,
mari kita kerja-kerja-kerja bersama Guru Wisesa [pemerintah], sebagai bagian
dari catur guru bhakti, agar kita semua memperoleh kehormatan dan kebenaran.
Demikianlah
beberapa hal yang dapat saya sampaikan kepada bapak Presiden Republik Indonesia
dan para hadirin, disertai permohonan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan
yang ada. Terima kasih.
Om Shanti, Shanti,
Shanti, Om. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salom, Namo Buddayo.
Mabes TNI
Cilangkap, Jakarta, 22 April 2017 Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, M.S.
Naskah disampaikan
pada acara Dharmasanti Nasional Hari Raya Nyepi Tahun baru Saka 1939 di Mabes
TNI Cilangkap Jakarta, Sabtu 22 April 2017.
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon