Panitia Pelaksana Mediksa Jro Mangku Gede Prof. Dr. I Wayan Ardana, M.Pd. M.Fil.H telah melaksanakan persiapan-persiapan. Puncak Upacara Mediksa akan dilaksanakan pada hari Kamis, 23 Nopember 2017. Untuk itu perlu kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Diksa Dvijati ini melalui Bhisama yang telah ditetapkan, agar kegiatan kita berada pada rule yang benar.
Bhisama Sabha
Pandita PHDI Pusat No.04/BHISAMA Sabha Pandita Pusat/V/2005 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diksa Dvijati dikeluarkan pada 7 Mei 2005. Bhisama ditandatangani
oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar Arimbawa dan
Wakil Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pandita Mpu Jaya Suta Reka.
Inti dari
Bhisama tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati tahun 2005 ini adalah, diksa
merupakan salah satu kewajiban umat Hindu yang sebaiknya dilaksanakan pada
waktu kehidupan di dunia ini sebagai wujud tahapan hidup dan peningkatan
kualitas sradha, bhakti dan yasa kerti. Dalam lampiran bhisama ini dijelaskan
dengan rinci tentang kedudukan dan fungsi diksa.
Dalam lampiran bhisama
ini pula, bagian peran PHDI, “Dalam proses pelaksanaan diksa dwija, PHDI
berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan
rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau
yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru
Nabe”
Lampiran :
Keputusan Pesamuhan Agung
Parisada Hindu Dharma Indonesia
Nomor :
07/Kep/P.A.Parisada/VII/2005
Tanggal 13 Juli 2005
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 04/Bhisama/Sabha Pandita
Parisada Pusat/V/2005
Tentang
PEDOMAN PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
A. KEDUDUKAN DAN FUNGSI DIKSA
Eksistensi diksa
dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan Dharma yang memiliki
sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu. Dengan demikian
diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral yang wajib
diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan dalam rangka menegakkan
Dharma. Hal ini dinyatakan dalam mantram Atharvaveda XII.1.1 dan Yajurveda XIX.
36, sebagai berikut :
"Satyam brhad rtam ugram
diksa ya topo brahmayajna prithivim dharyanti"
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa,
tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
"Vratena diksam apnoti,
diksayapnoti daksinam, daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate "
(Denganmelaksanakan
brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan
dengan daksina seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai
satya)
Usaha menyucikan
diri melalui diksa sebagai salah satu perwujudan Dharma diamanatkan pula oleh Vrhaspatittatva seloka 25 yang
merupakan kewajiban setiap umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan
Dharma, yaitu: sila, yajna, tapa, dana,
pravrjya, diksa dan yoga.
.
Melalui
keyakinan terhadap kebenaran diksa ini, mengantarkan umat memahaini Veda dan
melalui
diksa pula umat
Hindu memiliki kewenangan belajar dan mengajarkan Veda. Dengan demikian diksa memiliki
kedudukan sebagai institusi yang bersifat formal. Melalui pelaksanaan diksa
seseorang menjadi Brahmana, "janmana
jayate sudrah samskarairdvija ucyate " semua orang lahir sebagai sudra
melalui diksa/dvijati seseorang menjadi Brahmana).
Dari penjelasan
tersebut maka pelaksanaan diksa memiliki tujuan untuk menyucikan diri secara
lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk mentransfer pengetahunan
ketuhanan (Brahmavidya) melalui media
Guru Nabe atau Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan
melaksanakan diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi
berbagai nama abhiseka seperti : Pedanda,
Bhagawan, Mpu, Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana,
Brahmacari, Sannyasi, Yogi, Muni dan lain-lain yang memiliki kewenangan
melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun Lokapalasraya kepada umat.
Kemudian
mengenai makna diksa dvijati adalah merupakan proses transendensi dan
sakralisasi menuju pencapaian kesadaran penyatuan dengan Brahman. Selain itu
diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanya jalinan
hubungan yang bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya) dengan
murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda
XI. 5. 3. menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru
Nabe atau Acarya seakan-akan menempatkan murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti
seorang ibu mengandung bayinya, kemudian setelah melalui vrata murid dilahirkan
sebagai orang yang sangat mulia (dvijati). Dengan demikian pelaksanaan diksa dvijati
merupakan transisi dan gelap menuju terang, dan
avidya menuju vidya.
Dalam lembaga diksa
dvijati kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap
sisya-nya agar tidak terjadi pengingkaran terhadap sasana/dharmaning kawikon . Maka demi menegakkan Dharma berdasarkan
ketentuan sastra, seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru
Nabe (manavaguru), Guru Vaktra, Guru Saksi, selain Siddha Guru ataupun Divya Guru.
B. PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
Mengingat
pemahaman Umat Hindu di Indonesia tentang ajaran agamanya berimplikasi pula terhadap
eksistensi lembaga diksa maka Sabha Pandita memandang perlu meninjau ketetapan
Sabha Parisada Hindu Dharma Indonesia II Nomor: V/Kep/PHDIJ68 tentang Pandita,
serta keputusan seminar kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu ke-14 tahun
1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa yang kurang mengakomodasikan dan
memberikan kebebasan terhadap umat untuk memilih system diksa dvijati selain
yang telah diputuskan dalam seminar tersebut diatas. Padahal sesuai kenyataan
warga-warga tertentu khususnya di Bali telah memiliki mekanisme diksa dvijati yang
telah ditetapkan dalam Bhisama leluhurnya. Lebih-lebih dikalangan Sampradaya-sarnpradaya
juga memiliki mekanisme yang berbeda-beda. Maka untuk itu Sabha Pandita
menetapkan penyempurnaan pedoman pelaksanaan diksa dvijati, sebagai berikut:
1.
Lembaga
diksa dvijati sebagai dasar sraddha dan hukum moral dalam agama Hindu adalah bersifat
wajib, maka Sabha Pandita mengakui berbagai system diksa dvijati yang ada,
sepanjang konsepnya mengalir dari ajaran Veda.
2.
Memberikan
keleluasaan serta kebebasan kepada umat Hindu yang bermaksud menekuni spiritual
menjadi Pandita, untuk memilih sistem diksa dvijati yang akan dilaksanakan sesuai
ketentuan aguron-guron yang diikuti sepanjang dilandasi oleh atmanastusti.
3.
Tugas
pencerahan dan bimbingan Dharmopadesa merupakan tanggung jawab semua potensi umat
Hindu secara profesional, maka Sabha Pandita mendorong lahirnya para Pandita
yang representatif, berwawasan universal dan membimbing umat dalam pencerahan
rohani.
4.
Pelaksanaan
diksa dvijati untuk menjadi Pandita merupakan hak pribadi umat Hindu, maka segala
persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa dvijati, atribut serta
abhiseka kepanditaan sepenuhnya diserahkan kepada system aguron-guron yang
diikuti oleh calon diksita.
5.
Dalam
proses pelaksanan diksa dvijati Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan
rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau
yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru
Nabe.
Demikian pedoman
ini ditetapkan sebagai tuntunan bagi seluruh umat Hindu, baik secara perorangan
maupun kelembagaan.
Ditetapkan
di: Denpasar
Pada
Tanggal: 7 Mei 2005
.
PIMPINAN PESAMUHAN SABHA PANDITA
PERISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Ketua
Dharma Adhyaksa
Ida
Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil
Dharma AdhyaksaSabha Pandita,
Ida
Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon