Menjadi seorang seniman memang harus sabar, tabah, dan berjiwa besar. Dengan sikap idealis, sayangnya, tidak banyak seniman asal Indonesia mempunyai karir yang baik dan stabil, apalagi yang bisa meraih sukses di kancah internasional.
I Gede Eka Riadi, seorang penari Bali yang lahir dari keluarga sederhana di Desa Kapal, Mengwi, Bali, tidak pernah ada kepikiran bahwa dia bisa menempuh karir sebagai penari profesional, apalagi di luar negeri.
Namun, berkat sikap jujur, kerja keras dan dukungan guru, keluarga dan teman-teman, Gede telah berhasil dipilih untuk menjadi seorang duta seni budaya Indonesia di luar negeri.
Sekarang Gede bekerja sebagai Cultural Officer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia.
Gede menghabiskan masa kecil di tengah suasana pedesaan. “Bapak saya bekerja sebagai penjahit baju adat Bali yang sehari-harinya dibantu oleh Ibu,” kata Gede.
Hidup di desa dengan penghasilan orang tua yang pas-pasan membuat Gede harus berjuang membantu orang tua supaya bisa memenuhi kehidupan keluarga.
Karena Ibunya mengalami gangguan kesehatan yang cukup berat, Gede harus membantu Bapak untuk membeli perlengkapan kebutuhan alat jahit baju.
“Kita harus hidup irit, kemana-mana jalan kaki, dan kadang saya harus ikut membatu Ibu mencari kayu bakar serta kelapa jatuh di hutan untuk kemudian dijual,” kata Gede.
Gede pertama kali belajar tari Bali semenjak duduk di bangku kelas 3 SD di Sanggar Yudhistira, salah satu sanggar tari tradisional di desa Kapal di bawah asuhan guru Anak Agung Sudarma.
“Pada waktu itu Bapak saya menawarkan kepada saya apakah saya mau ikut belajar tari di sanggar, karena Bapak saya melihat saya senang menari. Ketika saya mendengar suara gamelan, tangan dan kaki saya mulai bergerak sendiri,” jelasnya.
I Gede Eka Riadi, seorang penari Bali yang lahir dari keluarga sederhana di Desa Kapal, Mengwi, Bali, tidak pernah ada kepikiran bahwa dia bisa menempuh karir sebagai penari profesional, apalagi di luar negeri.
Namun, berkat sikap jujur, kerja keras dan dukungan guru, keluarga dan teman-teman, Gede telah berhasil dipilih untuk menjadi seorang duta seni budaya Indonesia di luar negeri.
Sekarang Gede bekerja sebagai Cultural Officer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia.
Gede menghabiskan masa kecil di tengah suasana pedesaan. “Bapak saya bekerja sebagai penjahit baju adat Bali yang sehari-harinya dibantu oleh Ibu,” kata Gede.
Hidup di desa dengan penghasilan orang tua yang pas-pasan membuat Gede harus berjuang membantu orang tua supaya bisa memenuhi kehidupan keluarga.
Karena Ibunya mengalami gangguan kesehatan yang cukup berat, Gede harus membantu Bapak untuk membeli perlengkapan kebutuhan alat jahit baju.
“Kita harus hidup irit, kemana-mana jalan kaki, dan kadang saya harus ikut membatu Ibu mencari kayu bakar serta kelapa jatuh di hutan untuk kemudian dijual,” kata Gede.
Gede pertama kali belajar tari Bali semenjak duduk di bangku kelas 3 SD di Sanggar Yudhistira, salah satu sanggar tari tradisional di desa Kapal di bawah asuhan guru Anak Agung Sudarma.
“Pada waktu itu Bapak saya menawarkan kepada saya apakah saya mau ikut belajar tari di sanggar, karena Bapak saya melihat saya senang menari. Ketika saya mendengar suara gamelan, tangan dan kaki saya mulai bergerak sendiri,” jelasnya.
Waktu pertama kali diberikan kesempatan untuk belajar tari Bali secara resmi, Gede mengalami perasaan nikmat yang luar biasa, apalagi dengan banyak sekali jenis tarian Bali yang dapat dipelajari di sana.
Belajar tari Bali memang menjadi sumber kesenangan bagi Gede. “Entah kenapa saya suka tari Bali. Di keluarga saya tidak ada yang hobi menari. Kata Ibu saya, ada keturunan darah seni di keluarga kami yaitu Almarhum kakek saya.”
Di sanggar, banyak teman yang seangkatan tidak melanjutkan studinya sampai selesai. “Karena mungkin merasa malu dan sering dibilang banci kalau seorang laki-laki belajar tari,” katanya.
“Namun saya berpikiran untuk tetap dan terus belajar. Karena dari menari saya merasa punya sesuatu lebih dalam diri saya, dan bisa membuat orang senang melihat saya dan saya pun ikut merasa senang dan ingin menjadi seorang seniman tari,” imbuhnya.
Walaupun kecintaan terhadap seni tari Bali sangat kuat, melihat kemampuan orang tua dengan penghasilan yang pas-pasan, Gede tidak pernah menyangka bisa menempuh pembelajaran tari sampai ke tingkat universitas.
Masuk universitas lewat audisi
Tetapi atas saran Guru tari dan beberapa orang teman dekat, Gede akhirnya mendaftar di ISI Denpasar pada tahun 2002 dengan proses audisi.
“Ternyata di sana tidak memerlukan biaya yang banyak karena memang dibutuhkan orang yang mau memperdalam tari dan juga ada banyak beasiswa yang diberikan oleh pihak kampus untuk mahasiswanya,” kata Gede.
Berkat bantuan dari Bibi, Gede dipinjamkan uang sebesar 5 juta rupiah untuk biaya masuk ISI Denpasar. Di ISI Gede belajar selama 4 tahun pada Fakultas Seni Pertunjukan jurusan Seni Tari.
Banyak ilmu, teman, pengalaman yang Gede dapatkan selama kuliah di ISI. Mulai dari belajar olah tubuh, teknik tari Bali, Jawa, Nusantara, sampai belajar tari kontemporer.
“Pengalaman paling menarik yaitu ketika saya mendukung karya ujian akhir kakak kelas. Saya harus latihan setiap hari dari pagi hingga malam hari. Hampir tidak mengenal rumah, karena bangun tidur di area kampus.
Tidak ada bayaran apapun kecuali diberi kue dan nasi bungkus. Tapi dari situ pertemanan dan persahatan satu sama lain terjalin dengan baik, yaitu saling membantu,” jelasnya.
Gede menyelesaikan kuliah S1 pada tahun 2007. Setelah dinyatakan lulus, Gede sempat mengalami kebingungan dan kesulitan waktu mencari pekerjaan.
“Karena seniman sifatnya idealis dan senang membantu orang, kita lebih senang karyanya dihargai daripada dibeli dengan uang tapi tidak dihargai,” katanya.
Makanya, untuk sementara itu Gede ikut tawaran menari dari teman dan beberapa grup yang sudah punya kontrak tetap di hotel. Dalam masa perjuangan itu, Gede sempat menjadi penari modern, menari Bali dengan bayaran murah, menari Hip Hop, sampai ikut kelompok fire dance.
“Menjadi seorang penari bayaran sangat melelahkan karena harus kerja pada malam hari, mulai pukul 8:00 malam dan selesai pukul 2:00 pagi dini hari,” kata Gede. Jika tidak ada tawaran menari Gede terpaksa “nganggur” dan kadang-kadang tidak mempunyai uang untuk biaya makan sehari-hari.
Pada suatu hari, perjalanan hidup Gede mulai berubah waktu dia mendapat info dari Guru tarinya bahwa Kementerian Luar Negeri, Jakarta sedang mencari tenaga pengajar seni budaya untuk ditempatkan di beberapa perwakilan RI di luar negeri.
Gede disarankan untuk mencoba melamar. “Pertamanya saya ragu, karena merasa kemampuan saya kurang. Saya tidak bisa berbahasa Inggris, computer, mengendarai mobil dan belum pernah punya pengalaman ke luar Negeri. Jangankan ke luar Negeri, ke luar Bali saja jarang,” kata Gede sambil ketawa.
Waktu itu Gede mendapat dorongan dari banyak pihak, termasuk teman, orang tua, dan ketua sebuah sanggar seni di Celuk yang bernama Pak Ketut Widi.
“Beliau mendorong saya untuk daftar dan membantu saya dalam membuatkan surat lamaran, daftar riwayat hidup dan membantu membuatkan email serta mengirim dokumen via fax,” kata Gede.
Setelah dokumen dikirim, akhrinya Gede dipanggil oleh staf Kemlu untuk datang ke Jakarta untuk mengikuti tes. Itu merupakan pengalaman yang luar biasa bagi Gede. “Saya harus naik pesawat ke Jakarta sendirian, ikut tes, dan tinggal di Jakarta selama 3 hari. Sempat ragu untuk pergi karena saya tidak punya teman atau keluarga di Jakarta,” katanya.
“Saya kurang begitu yakin kalau saya bisa lolos seleksi pegawai setempat. Tapi berkat doa dan kerja keras, akhirnya saya mendapat info dari Kemlu Jakarta bahwa saya lulus seleksi dan diterima menjadi pegawai setempat bidang seni budaya di KBRI Canberra, Australia,” jelasnya.
Akhirnya Gede mulai menempuh hidup baru di Australia dan sekalian mulai proses penyesuaian diri.
Di Canberra, Gede belajar banyak dari atasan, teman, dan pergaulan dengan orang Australia. Mulai dari Bahasa Inggris, mengendarai mobil, disiplin dalam berlalu lintas, menggunakan computer, birokrasi dan administrasi, sampai mengenal caranya bermain golf.
“Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman ini karena salah satu tugas utama saya adalah memperkenalkan tradisi dan seni budaya Indonesia kepada para siswa/siswi Australia dan orang Australia yang belajar tentang Bahasa dan Budaya Indonesia,” kata Gede.
Untuk para seniman muda Indonesia, Gede berharap supaya mereka berusaha untuk lebih membuka wawasan ke depan dalam memperkenalkan seni budaya Indonesia di kancah International.
Belajar tari Bali memang menjadi sumber kesenangan bagi Gede. “Entah kenapa saya suka tari Bali. Di keluarga saya tidak ada yang hobi menari. Kata Ibu saya, ada keturunan darah seni di keluarga kami yaitu Almarhum kakek saya.”
Di sanggar, banyak teman yang seangkatan tidak melanjutkan studinya sampai selesai. “Karena mungkin merasa malu dan sering dibilang banci kalau seorang laki-laki belajar tari,” katanya.
“Namun saya berpikiran untuk tetap dan terus belajar. Karena dari menari saya merasa punya sesuatu lebih dalam diri saya, dan bisa membuat orang senang melihat saya dan saya pun ikut merasa senang dan ingin menjadi seorang seniman tari,” imbuhnya.
Walaupun kecintaan terhadap seni tari Bali sangat kuat, melihat kemampuan orang tua dengan penghasilan yang pas-pasan, Gede tidak pernah menyangka bisa menempuh pembelajaran tari sampai ke tingkat universitas.
Masuk universitas lewat audisi
Tetapi atas saran Guru tari dan beberapa orang teman dekat, Gede akhirnya mendaftar di ISI Denpasar pada tahun 2002 dengan proses audisi.
“Ternyata di sana tidak memerlukan biaya yang banyak karena memang dibutuhkan orang yang mau memperdalam tari dan juga ada banyak beasiswa yang diberikan oleh pihak kampus untuk mahasiswanya,” kata Gede.
Berkat bantuan dari Bibi, Gede dipinjamkan uang sebesar 5 juta rupiah untuk biaya masuk ISI Denpasar. Di ISI Gede belajar selama 4 tahun pada Fakultas Seni Pertunjukan jurusan Seni Tari.
Banyak ilmu, teman, pengalaman yang Gede dapatkan selama kuliah di ISI. Mulai dari belajar olah tubuh, teknik tari Bali, Jawa, Nusantara, sampai belajar tari kontemporer.
“Pengalaman paling menarik yaitu ketika saya mendukung karya ujian akhir kakak kelas. Saya harus latihan setiap hari dari pagi hingga malam hari. Hampir tidak mengenal rumah, karena bangun tidur di area kampus.
Tidak ada bayaran apapun kecuali diberi kue dan nasi bungkus. Tapi dari situ pertemanan dan persahatan satu sama lain terjalin dengan baik, yaitu saling membantu,” jelasnya.
Gede menyelesaikan kuliah S1 pada tahun 2007. Setelah dinyatakan lulus, Gede sempat mengalami kebingungan dan kesulitan waktu mencari pekerjaan.
“Karena seniman sifatnya idealis dan senang membantu orang, kita lebih senang karyanya dihargai daripada dibeli dengan uang tapi tidak dihargai,” katanya.
Makanya, untuk sementara itu Gede ikut tawaran menari dari teman dan beberapa grup yang sudah punya kontrak tetap di hotel. Dalam masa perjuangan itu, Gede sempat menjadi penari modern, menari Bali dengan bayaran murah, menari Hip Hop, sampai ikut kelompok fire dance.
“Menjadi seorang penari bayaran sangat melelahkan karena harus kerja pada malam hari, mulai pukul 8:00 malam dan selesai pukul 2:00 pagi dini hari,” kata Gede. Jika tidak ada tawaran menari Gede terpaksa “nganggur” dan kadang-kadang tidak mempunyai uang untuk biaya makan sehari-hari.
Pada suatu hari, perjalanan hidup Gede mulai berubah waktu dia mendapat info dari Guru tarinya bahwa Kementerian Luar Negeri, Jakarta sedang mencari tenaga pengajar seni budaya untuk ditempatkan di beberapa perwakilan RI di luar negeri.
Gede disarankan untuk mencoba melamar. “Pertamanya saya ragu, karena merasa kemampuan saya kurang. Saya tidak bisa berbahasa Inggris, computer, mengendarai mobil dan belum pernah punya pengalaman ke luar Negeri. Jangankan ke luar Negeri, ke luar Bali saja jarang,” kata Gede sambil ketawa.
Waktu itu Gede mendapat dorongan dari banyak pihak, termasuk teman, orang tua, dan ketua sebuah sanggar seni di Celuk yang bernama Pak Ketut Widi.
“Beliau mendorong saya untuk daftar dan membantu saya dalam membuatkan surat lamaran, daftar riwayat hidup dan membantu membuatkan email serta mengirim dokumen via fax,” kata Gede.
Setelah dokumen dikirim, akhrinya Gede dipanggil oleh staf Kemlu untuk datang ke Jakarta untuk mengikuti tes. Itu merupakan pengalaman yang luar biasa bagi Gede. “Saya harus naik pesawat ke Jakarta sendirian, ikut tes, dan tinggal di Jakarta selama 3 hari. Sempat ragu untuk pergi karena saya tidak punya teman atau keluarga di Jakarta,” katanya.
“Saya kurang begitu yakin kalau saya bisa lolos seleksi pegawai setempat. Tapi berkat doa dan kerja keras, akhirnya saya mendapat info dari Kemlu Jakarta bahwa saya lulus seleksi dan diterima menjadi pegawai setempat bidang seni budaya di KBRI Canberra, Australia,” jelasnya.
Akhirnya Gede mulai menempuh hidup baru di Australia dan sekalian mulai proses penyesuaian diri.
Di Canberra, Gede belajar banyak dari atasan, teman, dan pergaulan dengan orang Australia. Mulai dari Bahasa Inggris, mengendarai mobil, disiplin dalam berlalu lintas, menggunakan computer, birokrasi dan administrasi, sampai mengenal caranya bermain golf.
“Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman ini karena salah satu tugas utama saya adalah memperkenalkan tradisi dan seni budaya Indonesia kepada para siswa/siswi Australia dan orang Australia yang belajar tentang Bahasa dan Budaya Indonesia,” kata Gede.
Untuk para seniman muda Indonesia, Gede berharap supaya mereka berusaha untuk lebih membuka wawasan ke depan dalam memperkenalkan seni budaya Indonesia di kancah International.
“Jangan hanya tergantung pada kegiatan di dalam negeri tetapi juga harus mau mencoba mempromosikan seni budaya Indonesia ke luar negeri baik itu lewat misi kesenian, menjadi tenaga pengajar di suatu universitas, menjadi duta budaya atau memberikan workshop seni kepada orang asing.”
“Tidak harus secara resmi. Bisa mulai dengan pendekatan informal,” kata Gede. Gede juga menyayangkan bahwa tidak banyak yang berani merantau ke luar negeri dengan alasan tidak “pede,” “Padahal dia bisa dan mampu untuk melakukan itu,” tegasnya. “Semua orang pasti bisa, asal dengan niat, doa, serta kemauan hati yang tulus, you can do it!”.
Semoga pengalaman Gede ini bisa diambil hikmahnya dan menjadikan teman-teman seniman muda Indonesia lebih giat berkreatifitas dan berkarya demi mempertahankan warisan seni budaya leluhur kita.
* Tulisan ini adalah versi bahasa Indonesia dari artikel dalam bahasa Inggris di Jembartan, sebuah blog yang menghubungkan Indonesia dan Australia melalui kesenian.
* Jane Ahlstrand adalah mahasiswa S3 Universitas Queensland yang sedang melakukan penelitian mengenai Indonesia, dan sudah lama mengenal dan mempromosikann kesenian Indonesia di Australia.
Semoga pengalaman Gede ini bisa diambil hikmahnya dan menjadikan teman-teman seniman muda Indonesia lebih giat berkreatifitas dan berkarya demi mempertahankan warisan seni budaya leluhur kita.
* Tulisan ini adalah versi bahasa Indonesia dari artikel dalam bahasa Inggris di Jembartan, sebuah blog yang menghubungkan Indonesia dan Australia melalui kesenian.
* Jane Ahlstrand adalah mahasiswa S3 Universitas Queensland yang sedang melakukan penelitian mengenai Indonesia, dan sudah lama mengenal dan mempromosikann kesenian Indonesia di Australia.
2 komentar
Click here for komentarOm Suastyastu,ICHI Banten telah menyelenggarakan seminar 2 jam di Wantilan Pura BSD Serpong Tangsel tanggal 25 Desember 2016,saya sebagi peserta seminar mendapat pengetahuan tentang AWATARA/sekilas sejarah hindu yang sangat tepat di publikasikan masa kekinian maraknya intoleransi, terkikisnya jiwa kebangsaan,si A mengklim sebagai pendiri Negara dan si B mengklim pemersatu NKRI dan seterusnya si C .... tapi lupa dengan sejarah bahwa Hindu mempunyai tokoh-tokoh/pemimpin kerajaan hindu di majapahit yaitu Patih Gajah Mada apa ya ? kami memberikan apresiasi terselenggaranya kegiatan seminar ini bila ada pendanaan perlu lebih digali lebih jauh dengan nara sumber yg berkepeten agar mendapat pengakuan sejarah hindu yg mendekati kebenaran era kekinian banyak simbul-simbul hindu yg dibuat oleh pendiri bangsa ini sedikit demi sedikit di hilangkan contoh Kalimat Bhakti menjadi Bakti, kami mengharap generasi muda hindu Khusus lembaga-lembaga hindu terus berupaya menggandeng semua elemen umat untuk memperdebatkan di forum dalam hal menuju kebaikan hindu ke masa depan.Awatara adalah panduan menuju masa depan berjalan tanpa sejarah bisa menjadi bebal sehingga menjadi abal-abal alias mitasi,seminar AWATARA yg diselenggarakan merupakan embrio kebangkitan hindu selamat pada ICHI Pusat Dan Dewan Pimpinan Ranting ICHI Prov Banten, Giografis Banten Khususnya Kota/Kab Tangerang yg sangat strategis dan umatnya sangat banyak yg berdekatan dg Pusat Pemerintahan Negara RI melalui mimbar ini kami mengimbau dan mengucapkan selamat Untuk ICHI Banten atas terselenggaranya seminar diatas walaupun baru tidak ada kata terlambat maju terus bentuk tim yg lebih kompoten dibidangnya yakni Budayawan dan latar belakang Tiologi maupun lintas sektornya Om Santi Santi,santi Om (AUM) I Ketut Nesa Cipondoh Tangerang ( saung_galing@ymail.com
ReplyOm Swastiastu, matur suksma Pak Ketut, Yening wenten tulisan2 tentang kegiatan umat mohon dapat dikirimkan ke email kami hindubanten@gmail.com akan kami posting dalam website niki, matur suksma
ReplyTerimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon