Peningkatan Kesucian
I Gede Raka Tantra
Om Swastyastu,
Ø Para Pinandita yang kami sucikan dan
kami muliakan
Ø Parisada Kota Tangsel yang kami
hormati
Ø Para Manggala Banjar yang kami
hormati, serta
Ø Para
Umat se Dharma yang kami cintai,
Pada umumnya manusia dilahirkan ke
dunia sudah lengkap bersama dengan Jasmani dengan lima unsur Panca Maha Butha (
Ether, Udara, Api, Air dan Tanah ) dan Rochani ( Citta, Indria, dan Tammatra ).
Pertemuan unsur Jasmani ( Pradana) dengan unsur Rochani ( Purusa ) menyebabkan
adanya kehidupan, dan dari kehidupan menimbulkan aktifitas serta dari aktifitas
tersebut menimbulkan dua akibat yaitu Subha Karma dan Asubha Karma.
Subha Karma
adalah perbuatan baik merupakan unsur yang membawa manusia kepada Penyucian
diri.
Sedangkan
Asubha Karma adalah perbuatan buruk atau jahat merupakan unsur yang membawa
manusia kepada Dosa-dosa dalam kehidupan didunia ini.
Penyucian
diri juga terkandung dalam kegiatan Upacara Agama atau hari-hari Raya Agama
Hindu.
Dalam Manawa
Dharmasastra V.109, disebutkan Penyucian atau Pembersihan diri tersebut sebagai
berikut :
“ Adbhirgatrani Suddhyanti, Manah Satyena Suddhyanti, Widdya
Tapobhyam Bhutaatma, Bhuddhir Jnana Suddhyanti “
Artinya :
Tubuh disucikan dengan air, Pikiran disucikan dengan
Kebenaran ( Satya ), Atma disucikan dengan Tapa Brata, Budhi disucikan dengan
Ilmu Pengetahuan.
Dalam
kegiatan hari-hari Suci Agama Hindu atau hari-hari Raya Agama Hindu, umat Hindu
melaksanakan unsur Penyucian tersebut. Secara fisik, Penyucian Diri dilakukan
selain mandi yang bersih, juga berpakaian yang lebih bersih dan rapi.
Kebersihan fisik merupakan suatu hal yang sangat penting dalam melaksanakan
perayaan hari-hari suci Agama Hindu. Selain untuk memelihara kesehatan,
kesegaran dan kenyamanan juga membawa dampak positif bagi orang lain yang
memandangnya. Dalam ajaran Agama Hindu tampil bersih, rapi, dan sehat merupakan
ajaran Agama Hindu yang disebut Saucam.
Selanjutnya
Pikiran atau Manah disucikan dengan Kebenaran dan Kejujuran ( Satyam ). Kata
jujur tak ada artinya bila hanya dibibir saja. Jujur tersebut harus diwujudkan
dalam praktik tingkah laku sehari-hari. Jujur disini tak terbatas dalam
menggunakan uang dan harta benda semata. Jujur berarti berbicara sesuai dengan
kenyataan, tak pernah mengurangi atau melebih-lebihkan. Wajib diketahui bahwa
manusia mempunyai dorongan hawa nafsu yang disebut Distinksi. Nafsu Distinksi
ini mendorong seseorang untuk melebih-lebihkan dirinya agar kelihatan atau
kedengaran dirinya lebih super dari orang lain.
Contoh :
Ada orang mengaku dirinya pintar ketika masih disekolah.
Pengakuannya tersebut disampaikan
dihadapan orang yang tidak mengetahui keadaan dia yang sebenarnya, padahal sebenarnya
dia biasa-biasa saja atau ada orang yang mengaku kaya punya rumah Gedung
Bertingkat, punya mobil Mercy padahal yang benar hidupnya kembang kempis.
Jadi Kejujuran sesungguhnya merupakan media penyucian
Pikiran/Manah. Orang yang sering tidak jujur kecerdasannya diracuni oleh
Ketidak Jujuran dan Ketidak Jujuran ini menyebabkan Pikiran/Manah menjadi lemah
dan dapat diombang ambingkan oleh gerakan Indria. Orang yang tidak jujur sulit
mendapat kepercayaan dari lingkungannya bahkan Tuhanpun tidak merestuinya.
Suasana Hari Raya Keagamaan dapat dijadikan tonggak untuk lebih menguatkan niat
jujur tersebut dalam segala hal. Niat jujur harus selalu digerakan dalam diri
kita dan mohon bimbingan Tuhan ( Sanghyang Widhi Wasa ) agar selalu berbuat
jujur.
Atma
disucikan dengan Tapa Brata. Sesungguhnya Atma tersebut selalu Suci, karena
Atma merupakan bagian dari Paramaatma, ibaratnya menghapus noda debu pada kaca.
Begitulah yang dimaksud dengan menyucikan Atman. Atman yang kotor bagaikan
sinar matahari yang tertutup mendung, dimana sinarnya terlihat buram, tapi
sesungguhnya mendung tidak mengotori matahari.
Menyucikan Atman berarti melenyapkan bergeloranya hawa nafsu. Hawa nafsu yang bergelora
tersebut menutupi sinar Atman untuk menembus sinar Suci Paramaatman. Kata Tapa
arti arfiahnya adalah panas atau bersinar. Jadi tapa artinya mengekang gejolak
hawa nafsu dengan sinar suci Atman. Bertapa berarti mengekang pemenuhan Indria
dan hawa nafsu dengan panasnya sinarsuci Atman.
Brata : yang dimaksud dengan Brata adalah suatu kesanggupan untuk
melaksanakan janji diri, dalam
melaksanakan berbagai pantangan untuk mencapai kondisi / tingkat
spiritual yang lebih tinggi ( mantap ) dan Kesehatan yang lebih baik. Misalnya
tidak makan daging atau hanya makan nasi putih dan garam saja untuk beberapa
waktu. Ada lagi melakukan Brata dengan cara tidur tengah malam untuk beberapa
tahun.
Di Jawa Tengah ada suatu kelompok Spiritual Hindu yang
belajar Yoga. Mereka melaksanakan Tapa Brata dengan meremdam diri (dengan cara
hanya kepala saja yang kelihatan tersembul ) kedalam kolam dari sore hingga
pagi hari beberapa bulan. Tapa Brata tersebut dilaksanakan dengan maksud
meredam hawa nafsu atau Indria. Hidup bukan lagi mencari kenikmatan Indria
dengan jalan memenuhi hawa nafsu. Hidup bukan untuk bersenang-senang, tapi
untuk mencari ketenangan lahir dan batin.
Budhi atau
Kesadaran Budhi disucikan dengan Jnana ( Ilmu Pengetahuan )
Jnana disini adalah pengetahuan Mata Bathin yakni unsur
Rochani yang dapat mendatangkan kekuatan untuk menggerakan Budhi atau
Kesadaran. Jnana adalah alatnya Budhi untuk menguasai Pikiran/Manah. Pikiran
yang dikuasai Jnana akan dapat menguasai Indria. Budhi yang suci itulah yang
dapat menerima Sinar Suci Tuhan ( Sanghyang Widhi Wase ) menembus Atman. Jika Atman
bertemu dengan Brahman/Paramaatman, maka tak ada sesuatu yang tidak diketahui
dan tak ada penderitaan batin yang dirasakan.
Bagi umat
kebanyakan kehadiran Tuhan lebih terasa pada saat Hari Raya /hari Suci Agama
Hindu dari pada har-hari biasa. Berbeda dengan orang Suci dimana kehadiran
Tuhan dapat dirasakan pada setiap tempat dan waktu. Karena itu Hari Raya Hindu
adalah suatu media untuk meningkatkan penyucian diri secara totalitas dimana
Badan, Pikiran, Atma dan Budhi merupakan unsur-unsur yang selalu harus mendapat
Penyucian selama hidup didunia ini. Penyucian ini dilakukan tidak semata-mata
pada hari Raya /hari Suci Agama Hindu
saja , tetapi dilakukan setiap hari pada
saat-saat yang tepat. Hari Raya/hari Suci Agama Hindu tersebut hanyalah tonggak
ingatan kepada seluruh Umat Hindhu.
Dalam lontar
Sunarigama selalu dicantumkan dua cara
melaksanakan perayaan hari Raya Agama Hindu Yakni :
1. Dengan menghaturkan bebanten tertentu
bagi umat kebanyakan,
Bagi mereka mereka yang melakukan upakara bebanten, keyakinnan dan keichlasannya akan dapat meningkatkan kesucian semua pihak termasuk mahluk hidup yang digunakan untuk upacara tersebut. Keichlasan untuk dipergunakan dalam kurban suci, merupakan salah satu kegiatan agama yang akan membawa dampak Spiritual yang tinggi, dan
Bagi mereka mereka yang melakukan upakara bebanten, keyakinnan dan keichlasannya akan dapat meningkatkan kesucian semua pihak termasuk mahluk hidup yang digunakan untuk upacara tersebut. Keichlasan untuk dipergunakan dalam kurban suci, merupakan salah satu kegiatan agama yang akan membawa dampak Spiritual yang tinggi, dan
2. Bagi mereka yang disebut “ Wruh ring
Tattwa Jnana “ wajib melaksanakan Tapa, Brata, Yaga Semadi.
Bagi mereka yang melakukan Tapa, Brata, Yoga Semadi, gerakan Manah, Atma, dan Budhi, yang berusaha serta bertujuan untuk menghapuskan mendung kegelapan hawa nafsu, akan membawa getaran vibrasi pada lingkungan. Kesucian lingkunganpun akan tervibrasi pula oleh Tapa,Brata, Yoga dan Semadi.
Bagi mereka yang melakukan Tapa, Brata, Yoga Semadi, gerakan Manah, Atma, dan Budhi, yang berusaha serta bertujuan untuk menghapuskan mendung kegelapan hawa nafsu, akan membawa getaran vibrasi pada lingkungan. Kesucian lingkunganpun akan tervibrasi pula oleh Tapa,Brata, Yoga dan Semadi.
Tentang
peningkatan kesucian lingkungan, terutama bagi tumbuh-tumbuhan dan binatang
–binatang tertentu yang dipergunakan dalam upacara , dinyatakan dalam : “
Manawa Dharmasastra V.40” sebagai berikut :
Osadhyah Pasawa Wriksastir, Yancah Pakhanam Praptah,
Yajnartham Nidhanam Praaptah, Prapnu Wantyutsritih Punah
Artinya :
Tumbuh-tumbuhan, Pohon-pohonan, Ternak, Burung dan lain-lain,
yang telah dipergunakan untuk upacara yajna, akan lahir kembali dalam tingkatan
yang lebih tinggi pada kelahiran berikutnya.
Demikian
tingginya tingkat Penyucian terhadap Flora dan Fauna yang akan
ditimbulkan dari upacara Agama yang dilakukan. Dengan
demikian jelaslah bahwa melakukan upacara Agama bukan hanya untuk kebaikan bagi
mereka yang menyelenggarakan Upacara, tetapi juga ( terutama yang dilakukan
pada hari Raya ) untuk kebaikan bagi Alam Semesta beserta Isinya. Hal ini
ditegaskan dalam Manawa Dharmasastra V.39, sebagai berikut :
Yajnartham Pasawa Ristah, Swamewa Sayambhawa,
Yajnasya,Bhutyayi Sarwasya, Tasmadyajni Wadhawadhah
Artinya :
Swayambu telah menciptakan hewan-hewan, untuk tujuan upacara
–upacara Kurban yang telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi
beserta isinya.
Dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara Agama bukanlah penyembelihan dalam arti yang
lumrah, karena tidak berdasarkan kebencian atau kebengisan, melainkan
berdasarkan tujuan suci untuk meningkatkan status jiwa dari binatang yang
disembelih. Jika diperhatikan bahwa hidup ini bukan badan, tapi hidup ini
adalah jiwa atau Spirit. Dalam upacara
Agana jiwa inilah yang diutamakan untuk diupacarai dan diberikan Mantra
Suci.
Upacara yang menggunakan hewan, bagi umat Hindu khususnya di
Bali dikenal dengan nama upacara Mapapada. Binatang yang akan dijadikan Kurban
sebelumnya diupacarai dengan mengelilingi tempat upacara sebanyak tiga kali.
Mengeliling tempat tiga kali adalah lambang menuju peningkatan ke tempat yang
lebih suci. Pendeta mendo’akan dengan mantra-mantra yang khusus, agar jiwa
binatang yang diupacarai tersebut kelak menjelma menjadi mahluk hidup yang lebih mulia.
Upacara Kurban binatang itu hendaknya tidak dilihat secara
fisik jasmaniah, tetapi harus dilihat dari sudut pandang Spiritual.
Dalam Manawa Dharmasastra V.42 , dnyatakan sebagai berikut :
Eswarthesu Pasunhimsan Veda, Tattwarthawid Dwijah, Atmanam Ca
Pasun Caiwa Gamayatyu Ttnam Gatim.
Artinya :
Seorang Dwijati Yang Mengetahui Arti Sebenarnya Veda,
Menyembelih Seekor Hewan Dengan Tujuan-Tujuan Tersebut Diatas, Maka Dwijati
Bersama-sama Dengan Hewan Yang Disembelih Tersebut Masuk Kedalam Alam Yang
Sangat Membahagiakan.
Meskipun Veda Smerti membenarkan menyembelih binatang untuk
upacara keagamaan, namun bagi seorang Dwijati amat dilarang untuk menyantap
daging kalau hanya untuk kepentingan makan semata. Penyembelihan binatang tanpa
tujuan suci amat dilarang oleh Agama Hindu. Penegasan ini dijelaskan dalam
Manawa Dharmasastra V.33, sebagai berikut :
Nadyadawidhina mamsam, Widhijwna Napadi Dwijah, Jagdhwa Lyawidhnam
Mamsam, Pratya Tairadyati Wajah.
Seorang Dwijati yang tahu hukumnya( sastranya ), Wajib tidak
makan daging kecuali memang sudah sesuai dengan hukumnya.Apabila makan daging
yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, maka Dwijati tersebut tidak akan dapat
menyelamatkan dirinya sendiri, Dia akan dimakan oleh Kurbannya pada waktu Dia
meninggal. Di India Dwijati mutlak tidak makan daging hewan, akan tetapi bagi
pendeta Hindu di Indonesia pada umumnya khususnya di Bali masih dibolehkan
makan daging tertentu seperti Itik dan telornya.
Sehubungan
dengan penggunaan jenis-jenis hewan untuk upacara Keagamaan, simaklah tentang
Mahabharata berikut ini :
Pada saat Aswameda yajna akan diselenggarakan di Indraprasta
dan Astina oleh Pandawa setelah menang perang dalam Bharatayudha,maka Bima dan
Arjuna ditugaskan untuk mencari bahan-bahan upacara. Bima ditugaskan untuk
mencari isi laut dan Arjuna ditugaskan mencari isi hutan. Bima tak mau bersusah
payah mendapatkan isi laut yang amat luas. Bima langsung menghadap Dewa Baruna
penguasa lautan dan menyampaikan maksud kedatangannya, memohon segala isi laut
untuk kepentingan bahan upacara Aswameda Yajna di Indraprastha. Mendengar
permintaan Bima tersebut, Dewa Baruna memanggil semua isi laut untuk
menghadapnya. Dengan seketika semua jenis ikan berdatangan menghadap Dewa
Baruna sambil bersembah sujud. Dewa Barunapun menyampaikan maksudnya, kepada
semua isi laut siapa diantara jenis ikan tersebut yang bersedia menjadi bahan
upacara. Semua ikan-ikan tersebut minta supaya didahulukan untuk dijadikan
bahan upacara. Mengapa ikan-ikan tersebut berbuat demikian ? Karena ikan-ikan
tersebut mencari kesempatan suci sepertini amat sulit. Semua ikan
mencita-citakan agar dapat kembali kedunia asalnya melalui pengabdian kepada
Tuhan.Ikan menyatakan dirinya tidak mempunyai idep seperti manusia untuk
mengabdi kepada Tuhan. Ikan hanya memiliki sabda dan bayu. Seluruh dirinya
itulah yang ingin dipersembahkan kepada Keagungan Tuhan dimana hal ini
disebabkan bahwa ikan percaya jika dia dijadikan bahan upacara, maka dia akan
mendapatkan peningkatan Kesucian dalam penjelmaannya nanti. Akhirnya Bima
dipersilahkan oleh Dewa Baruna untuk memiliki jenis ikan mana yang akan dipakai
bahan upacara. Bimapun memilih sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh
pendeta dan serati banten.
Demikian juga halnya dengan Arjuna, Dewa Sengkara sebagai
Dewanya Tumbuh-tumbuhan telah mengijinkan Arjuna untuk mengambil
tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan dalam upacara Aswameda Yajna tersebut, akan
tetapi Arjuna bingung menghadapi permintaan semua tumbuh-tumbuhan untuk
didahulukan menjadi bahan upacara. Namun Arjuna hanya mengambil tumbuh-tumbuhan
yang hanya dibutuhkan untuk bahan upacara sesuai dengan tugas yang diembannya.
Memperhatikan
Sejarah yang terselip dalam dalam Mahabharata, maka perhatian kita tertuju pada
hakekat hidup ini dimana semua mahluk hidup tanpa terkecuali berharap untuk mendapatkan
peningkatan Kesucian. Peningkatan Kesucian akan diperoleh setelah melakukan
Yajna dengan sesame mahluk hidup dan yang tertinggi adalah beryajna kepada
Tuhan. Hari Raya Agama dengan berbagai berbagai kegiatan upacara Yajna adalah
merupakan Media yang amat suci dan mulia untuk saling mengabdi, saling beryajna
kepada sesama ciptaan Tuhan serta kepada Tuhan itu sendiri. Saling beryajna itu
akan memberikan peningkatan Kesucian.
Manusia mengabdikan Kesadaran, Pikiran dan Indria (
Budhi,Manah dan Indria ) untuk mendapatkan Penyupatan/peningkatan Kemuliaan.
Tumbuh-tumbuhan dan binatang mengabdikan tubuhnya untuk
mendapatkan peningkatan Kesucian atau Penyupatan. Melalui peningkatan tahap
demi tahapan ini, semua isi alam ciptaan Tuhan akan mencapai yang tertinggi
yaitu Satya (Kebenaran yang tertinggi). Satya inilah yang akan menjadi
Kesadaran menuju bersatunya Atman dengan Paramaatman.
Demikian kami
sampaikan, Dharma Wacana mengenai Hari Raya Agama Hindu dan Peniingkatan
Kesucian,atas perhatian dan waktu yang diluangkan untuk mengikuti serta mendengarkan
Dharma Wacana ini sampai selesai, kami mengucapkan Terimakasih Semoga apa yang
telah kami sampaikan bermanfaat bagi kita semua, Asthungkara.
Akhir kata,
kami sampaikan Parama Shanti.
Om
Shanti, Shanti, Shanti Om.
Jakarta ,16
Agustus 2016
I GEDE RAKA TANTRA
PHDI TANGERANG
PHDI TANGERANG
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon