Agama Hindu adalah agama yang sangat fleksibel hal
ini ditegaskan oleh Prof Gede Pitana dalam Dharma Wacananya sesaat setelah
persembahyangan bersama, Upacara Nedunang Ida Bethara (11/9-2018) saat Pujawali
Pura Dharma Sidhi yang jatuh pada hari ini, Budha Kliwon Ugu, Rabu 12 September
2018. Setelah prosesi Pecaruan Manca Sanak dilanjutkan dengan Nedunang Ida
Bethara ring Catus Pata, kemudian upacara Medatengan, Mekala Hias, Ngebejiang,
Murwa Daksina, Ngaturang Segehan Agung dan kemudian Ngelinggihang ring
suang-suang pelinggih, dilanjutkan dengan persembahyangan, Nunas Wangsuhpada dan
Dharma Wacana.
Mengawali Dharma Wacananya Prof Gede Pitana menggunakan
bahasa Bali, kemudian beliau switch
ke bahasa Indonesia mengingat adik-adik kita, umat kita tidak semua memahami
bahasa bali. Berikut petikan Dharma Wacana yang dapat kami rangkum, mohon maaf
apabila ada kekeliruan dalam mengutipnya .
Agama Hindu, agama yang sangat fleksibel yang
artinya sangat bisa menyesuaikan dengan keadaan dimana kita berada. Dalam pergaulannya
beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan “Mengapa agama Hindu di Bali dan di
Indonesia berbeda dengan agama Hindu yang ada di India. Mengapa di Bali ada
Galungan padahal di India tidak ada Galungan, mengapa di Bali ada Nyepi padahal
di India tidak ada Nyepi. Pak Prof menjawab berdasarkan berbagai sumber itulah
kelebihan agama Hindu yang selalu fleksibel dengan alam sosial budaya ekonomi
geografis lokal. Adaptasi ini bukan sekedar adaptasi karena leluhur kita yang
sangat cerdas dan pintar. India ada pada 23 derajat Lintang Utara, sehingga
harinya, musimnya, matahari terbitnya berbeda dengan Bali yang berada pada 6
derajat Lintang Selatan. Tidak harus apa tradisi disana dilakukan sama dengan
di Bali walaupun prinsip-prinsipnya sama. Di India ada Deevapali, di Bali ada
Galungan, di India ada Purnami, di Bali ada Purnama, sama tetapi tidak harus
pada waktu yang bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Agama Hindu betapa
fleksibelnya.
Agama Hindu tidak hanya membolehkan orang berbeda,
tidak hanya membolehkan orang mengikuti budaya lokal tetapi mengharuskan setiap
orang Hindu jadilah Hindu yang lokal walaupun dengan prinsip-prinsip yang
universal. Ajaran agama Hindu dalam kitab Sarasamuccaya dan Bhagawad Gita
diibaratkan bagai Air Bening yang mengalir, yang tanpa warna dan tanpa bau,
tetapi warna air itu akan sangat kelihatan tergantung daripada warna dasar dimana
air itu mengalir. Tidak salah Hindu di Nepal berbeda dengan Hindu di Prala, Hindu
di Utara Pradesh berbeda dengan Hindu di Jawa, Hindu Jawa berbeda dengan Hindu
Kaharingan, Kaharingan beda dengan Bali. Perbedaan bukan sesuatu yang dinaifkan
dalam agama Hindu. Perbedaan justru diakui sebagai bentuk kepercayaan, sesuai
ajaran Rwa Bhineda. Walaupun sudah jelas Hitam dan Putih, tetapi tidak pernah
kita mengatakan Hitam itu lawannya Putih. Hitam dan Putih harus hidup
berdampingan yang akan menciptakan harmonis dan keindahan.
Yang ketiga, agama Hindu sudah diajarkan dengan
berbagai level, tingkatan. Dalam Upacara tidak ada keharusan untuk melaksanakan
dalam level-level tertentu tetapi umat diberikan kebebasan sesuai dengan
kemampuan. Dalam Manawadharma Sastra disebut dengan Dharma Sidhiarta yang dalam
agama Hindu di Bali disebut dengan Panca Tarka. Tata Upacara agama Hindu tidak
ada yang mutlak, sehingga model upacara, upakara yang ada di Jawa akan berbeda
dengan yang ada di Bali. Apakah berarti yang di Bali benar dan Jawa salah ?
Tidak bisa kita katakan demikian, jangankan di Bali Selatan antara Gianyar – Badung
dengan Bali Utara, Tembiran-Culah, bentuk dan wujud pada sarana upakaranya
beda. Di Culah menggunakan daun Jati tetapi di Bali Selatan tidak demikian. Hal
ini menunjukkan adaptasi manusia Hindu dengan Lingkungan.
Dalam tingkatan upacara ada Nista, Madia dan
Utama. Kanista, Kanis artinya Inti, core,
hal yang wajib. Keutamaan dari sebuah upakara tidak terletak pada skalanya,
tetapi berada pada tetuek dan
lascharya sang agawe karya. Lascharya artinya atmanastuti, keikhlasan kita
beryadnya. Yadnya adalah korban suci yang dihaturkan dengan tulus ikhlas. Ketulus-ikhlasan
inilah yang menjadi core dari setiap
upacara.
Kita juga diajarkan tentang konsep keseimbangan
yaitu Tri Hita Karana, dimana hubungan kita harus seimbang, antara vertikal, horisontal
maupun diagonal. Hal ini mengandung arti bahwasannya antara Utama mandala,
Madya Mandala dan Nista Mandala harus seimbang. Tidak boleh kita berpesta pora
untuk keteben (kebawah/nista
mandala), tetapi yang kita persembahkan ke atas (Utama) hanya canang sari, itu
tidak seimbang. Apakah hal ini salah ? Beliau tegaskan tidak salah tetapi tidak
patut. Tidak salah sesuai dengan Bhagawad Gita menyatakan “Apapun yang
dipersembahkan dengan tulus akan diterima dengan senang hati”. Tetapi
keseimbangan ini penting karena menentukan sukses tidaknya upacara itu, yang
didasarkan atas keinginan baik, sehingga upacara itu menjadi Satvika Yajna
bukan Tamasika Yajna dan bukan Rajasika
Yajna.
Dharma Sidhiarta atau Panca Tarka yaitu Iksa,
Sakti, Desa, Kala, Tattwa. Iksa adalah keyakinan. Apapun yang kita persembahkan
tanpa keyakinan tiada gunanya. Keyakinan adalah inti dasar yang utama harus
kita lakukan setiap melaksanakan upacara upakara keagamaan. Sakti adalah
kemampuan, sumber daya yang kita miliki. Desa berarti lingkungan, sosial budaya
dimana kita berada. Kala adalah waktu, waktu itu Jaman. Saat jaman agraris
berbeda dengan jaman industri, waktu pelaksanaan disesuaikan pelaksanaannya. Tiada
ada yang kuasa dari waktu, waktu yang menjadi penentu, waktu akan menentukan
kemana kita menuju. Tatwa, apapun yang kita dilakukan harus didasari atas
Tattwa, yaitu Sastra atau Filosofi. Iksa sebagai awal adalah keyakinan dan
harus diakhiri atau ujungnya adalah sastra atau Tattwa. Mengandung arti, ketika
kita mengawali dengan keyakinan, keyakinan itu didasari atas sastra, tattwa. Bukan
keyakinan yang sekedar yakin tanpa dasar.
Upakara adalah Nyasa Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan,
artinya Nyasa adalah simbol-simbol Tuhan yang tidak bisa kita bayangkan. Setiap
bentuk tuwesan busung reringgitan mengandung
makna. Leluhur kita sangat pintar Nyastra
dengan Nyasa.
Dalam penutupnya kembali Prof. Gede Pitana
menegaskan bahwa beragama sangat mudah. Bukan saja disesuaikan dengan tempat, kemampunan
ekonomi tetapi juga disesuaikan ke masing-masing diri umat Hindu. Kita semua
yakin bahwa agama Hindu adalah Sanatana
Dharma. Agama yang akan hidup sepanjang masa, sepanjang gunung Himalaya masih
berdiri, sepanjang sungai Gangga masih mengalir, sepanjang Matahari dan Bulan
masih bersinar, sepanjang itupula ajaran Weda akan abadi. (BPH)
1 komentar:
Click here for komentarMantap
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon