Sinar Banten - Jauh sebelum kita berbicara masalah tingkatan upacara, maka sebaiknya kita pahami terlebih dahulu, apakah esensi sebuah pelaksanaan ritual tersebut secara makro. Sebab inti dari seluruh seluk beluk perilaku ritualistik yang diatur dalam kitab-kitab kalpa, secara menyeluruh memiliki dasar yang sama, yakni atmanastuti yang tentu saja tulus tanpa pamrih.
Koresponden yang menyatakan bahwa beban ritual di Bali sebagai umat Hindu sangat berat, ini disebabkan karena pengambilan tingkatan upacara itu sendiri, tidak didasari atas kemampuan dan daya finansial umat itu sendiri. Disamping secara pasti kita ketahui, bahwa penyelenggaraan ritual di Bali, sebagian besar masih berkiblat pada faktor kredibilitas dan nama baik, bukan pada ketulus-ikhlasan dan pemahaman akan nilai yang ada di dalamnya.
Sejatinya agama Hindu, tidak pernah memaksakan umatnya untuk melakukan upacara dengan mewah, biaya besar dengan beban yang cukup rumit. Namun karena beberapa faktor, hal tersebut menjadi sedikit melenceng dari koridor sebenarnya. The Veda’s Sanggaha Community, melakukan observasi, dan dari sana ditarik sebuah kesimpulan, bahwa faktor yang menyebabkan umat Hindu di Bali, jarang mau mengambil upacara tingkat sederhana (dalam hal ini tentu ukuran finansial) adalah sebagai berikut :
1. Karena faktor ikut-ikutan.
2. Gengsi yang berlebihan dan mengutamakan reputasi (Utamanya kalangan mewah).
3. Rasa yakin, bahwa dengan melakukan upacara besar, maka hasilnya juga akan besar.
4. Takut jika upacara tidak diterima jika dilakukan dengan skala kecil.
5. Gugon tuon tanpa dasar Sastra yang jelas.
Point “gugon tuon” dan point “ikut-ikutan tanpa dasar sastra yang jeias” adalah yang mendominasi. Maka dari itu, mari kita runut pengertiannya satu persatu.
Upacara itu apapun bentuknya, bukan dinilai dari besar biaya yang dikeluarkan, namun dari hati dan ketulusan yang melakukan. Ada sebuah cerita menarik untuk haal ini. Ceritanya demikian. Indraprastha adalah ibu kota kerajaan yang baru didirikan oleh putra Pandu bernama Yudhisthira (Dharmaraja). Upacara penobatan itu dilakukan dengan sederhana, mengingat situasi pada waktu itu masih mencekam.
Selang satu tahun panobatan Yudhisthira sebagai seorang Raja, dia beserta keluarga melakukan upacara Asvamedha Yaga. Upacara itu tergolong mewah, sebab dihadiri oleh pejabat istana, pemimpin negara tetangga, dan yang menjadi wiku yajamana adalah para brahmana-brahmana terpelajar yang sudah termasyur di seluruh Bharatavarsa. Disana hadir Bhagavan Dvaipayana Vyasa sendiri, sebagai purohita yajna utama yang membacakan mantra-mantra Veda. Ketika para sadhaka melakukan puja mantra, disanalah meloncat seekor tupai dengan bulu ekornya berwama keemasan.
Dharmaraja menjadi sangat terkejut melihat tupai ini yang berdiri di atas yajnasala. Semakin terkejut ketika tupai itu mulai berbicara:
“Oh yang terpelajar diantara para Viprah, engkau adalah putra Kunti yang disegani dengan kebijaksanaanmu. Karena kau memiliki hati yang lapang, maka aku sendiri berani mengahadapimu dan menyatakan bahwa upacara yajna yang kau lakukan ini masih kalah jauh dengan persembahan yang dilakukan oleh seorang Brahmana miskin di Kuruksetra”.
Perlu diketahui, bahwa Kuruksetra adalah sebuah wilayah yang luasnya kurang lebih 100 km2. Di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Samantapancaka terdapat sebuah gubuk-kecil yang ditinggali Brahmana miskin dengan keluarganya. Mereka adalah keluarga yang memiliki welas asih yang tinggi dan rela berkorban setulus hati pada siapapun.
Suatu ketika, Sang Hyang Agni datang untuk menguji ketulusan hati Brahmana ini dengan merubah diri-Nya menjadi seorang peminta-minta yang kurus kering dengan pakaian yang lusuh. Dengan mangkok peminta-minta di tangan, pengemis ini mendatangi keluarga Brahmana miskin ini untuk meminta sedekah.
Brahmana miskin ini merasa iba melihat kondisi pengemis tadi dan dia memberikan semangkuk bubur kepada pengemis tadi. Padahal, bubur itu adalah makanan satu-satunya yang dia punya saat itu. Namun pengemis ini merasa kurang kenyang, sebab dia sudah berhari-hari tidak makan. Melihat hal itu, semua keluarga brahmana miskin ini memberikan bagian bubur mereka. Hingga pengemis ini menjadi sangat gembira.
Tupai tadi kemudian berkata:
“Hamba sendiri melihat, dengan jelas, pengemis ini mengangkat tangan-Nya dan menjadikan seluruh gubuk brahmana miskin ini bertuah. Tuah dari berkat itu mengenai hamba dan tempat tinggal hamba yang kebetulan lubang tempat tinggal hamba tidak jauh dari sana. Itulah yang merubah ekor hamba sekarang menjadi berwarna emas. Oh tuanku Raja, kau adalah murid Drona, seluruh kebajikan ada pada dirimu, lalu mengapa kau tidak mengikuti hati Brahmana miskin tadi?”
Setelah menyatakan itu, tupai tadi melompat dan pergi dari yajnasala. Dharmaraja menjadi sadar akan kejadian ini, sebab besarnya upacara tidak menentukan kualitas upacara sendiri. Sebab kualitas dinilai bukan oleh seseorang, melainkan oleh Tuhan dan para Dewata sendiri. Semakin tulus yajna yang dilakukan, maka semakin murni dan semakin bertuahlah upacara tersebut.
Untuk apa berupacara mewah dan megah (apalagi dana yang dipergunakan di dapat lewat menjual tanah warisan leluhur). Lebih baik upacara sedcrhana, namun didasari atas perasaan tulus dan rasa bhakti yang mumi. Sadar akan kejadian tersebnt, Yudhisthira kemudian bangkit mengucapkan terrima kasih pada tupai tadi. Disinilah perlu sebuah kebijaksanaan untuk melihat, yang bahkan
Dharmaraja sendiri memberi hormat pada seekor tupai, sebab dia membawa petunjuk. Bukankah pengetahuan itu bisa didapat dari mana saja, bahkan dari seekor tupai sekalipun.
Namun Jika mau jujur pada diri sendiri, nampaknya kita belum bisa sejauh itu. Kita terlalu sentiment untuk menerima ajakan dan saran yang datang kepada kita, apalagi saran itu datang dari orang yang kita pandang remeh.
Sadar dengah hal itu, maka Dharmaraja melakukan puja dengan setulus hati. Maharesi Dvaipayana Vyasa tersenyum melihat kejadian itu. Samudra pengetahuan itu, melihat bahwa Dharmaraja bisa menerima saran sang tupai. Karenanya, dua hari berikutnya, Maharaja Yudhisthira kembali melakukan upacara tarpana untuk leluhurnya.
Yudhisthira tidak lagi meminta Mahaguru Dvaipayana Vyasa untuk menjadi wiku yajamana. Dharmaraja kemudian mendatangkan brahmana miskin tadi sebagai Purohita yang akan memimpin upacara. Semua persiapan untuk tarpana sudah dilakukan. Sekarang upacara itu dimulai.
Brahmana miskin ini mulai mengucapkan mantra dan memuja Sang Hvang Agni terlebih dahulu. Dewi Draupadi (permaisuri Yudhisthira), melihat Brahmana miskin ini dengan tatapan jijik dan menghina. Dia berfikir:
“Bagaimana mungkin aku yang seorang maharani, dan suamiku seorang maharaja, berkuasa di Bharatavarsa, melakukan upacara dipimpin oleh Brahmana miskin. Lihat pakaian Brahmana
itu, lusuh dan sangat kumal. Jenggotnya tidak rapi dan badannya hitam tampak tidak terawat. Apakah suamiku tidak dapat menemukan Brahmana yang lain lagi, sehingga dia terpaksa meminta brahmana miskin ini untuk menjad Wiku Yajamana? Reputasiku bisa hancur jika demikian”.
Dewi Draupadi tampak mementingkan reputasi dan nama baik serta kemewahan dan tampilan fisik dalam upacara, daripada ketulusan hati. Dia hanya ikut upacara sekedar formalitas. Akibatnya hujan bunga (Pusparesti) tidak turun ketika itu. Dharmaraja kembali bertanya pada Kesawa:
“Aduh, mengapa para Dewa tidak menerima persembahan kita? Apakah ada yang kurang?”
Jaman Satya, Tritha, dan Dvapara, upacara yang berhasil ditandai dengan turunnya hujan bunga dari langit (pusparesti). Namun di jaman Kali, maka hujan air yang turun. Jadi ketika hujan turun setelah upacara berlangsung,maka itu tanda upacara berhasil baik. Namun umat Hindu di Bali sangat konsen terhadap hal tersebut, maka dibuatkanlah tarian Pusparesti untuk hal ini, dimana bunga ditaburkan sebagai simbol bahwa yajna berhasil.
Kesawa kemudian menjawab:
“Baiklah, jika kau ingin tahu jawabannya. Sebab di antara kalian ada yang tidak tulus melakukan upacara ini”.
Dewi Drupadi kemudian angkat bicara, dan dia menyatakan keberatannya jika upacara ini dipimpin oleh brahmana miskin. Dharmaraja menjadi terkejut mendengarkan hal tersebut dan dengan susah payah Yudisthira menjelaskan hakikat sebuah persembahan adalah hati si pemuja, bukan apa yang ditampilkan.
Mengetahui hal tersebut maka Dharmaraja kemudian meminta maaf pada Brahmana miskin ini, dan memohon agar mantranya diucapkan ulang. Brahmana ini berkenan, dan hasilnya hujan turun sebagai tanda bahwa yajna berhasil. Menurut perhitungan kitab Asvamedha Parva, upacara ini berlangsung pada saat amavasya.
Hal-hal yang dapat dipetik dari kisah di atas menurut penyadur adalah sebagai berikut:
1. Manusia oleh belenggu sifat alpa (awidya)-nya karena dibatasi oleh ruang dan waktu perlu selalu diingatkan akan tujuan hidupnya melalui upacara secara berkala.
2. Bahwa upacara/yadnya apapun yang kita lakukan tidak cukup hanya berpedoman pada skala kuantitatif (nista-madya-utama), tetapi seharusnya lebih pada nilai kualitatif: satyam-siwam-sundaram sehingga kesadaran dharma-satya-prema-ahimsa-santih dalam diri setiap manusi terus tumbuh dan berkembang, membangun dan memelihara keselarasan Tri Hita Karana:
• Manusia-Sang Hyang Widhi
• Manusia-manusia
• Manusia-alam
3. Upacara sebaiknya dimaknai sebagai sarana pembangun evolusi kecerdasan sesuai kerangka dasarnya yang dipresentasikan melalui simbol tumpeng (evolusi vertikal: upacara—etika/susila—tatwa).
Disadur oleh I Ketut Siarta
dari buku: Hindu Agama Universal
Terimakasih Sudah Meluangkan Waktu Sejenak Untuk Berkunjung ke SINAR BANTEN , Semoga Bisa Bermanfaat Untuk Umat Semua Dimanapun Berada .
www.hindubanten.com ConversionConversion EmoticonEmoticon